Rancangan Undang-Undang Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (RUU PHMA) sangat diperlukan untuk mengisi kekosongan hukum (vacuum of law atau rechts vacuum) kendati konsep atau istilah masyarakat adat ditemukan berjenjang dari konstitusi sampai undang-undang. Kekosongan hukum selama ini telah menyebabkan keberadaan masyarakat adat dalam semua dimensi semakin terpinggirkan dengan hak-hak yang terkebiri.
“Mengisi kekosongan hukum artinya selama ini kita belum miliki undang-undang masyarakat adat, jadi tidak merevisi undang-undang yang telah dibuat,” ucap Jawahir Thontowi, Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Yogyakarta, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Ad Hoc (PAH) I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipimpin Ketua PAH I DPD Marhany VP Pua di lantai 2 Gedung DPD Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (3/3).
Menurutnya, RUU PHMA akan menyentuh ranah yang tidak pernah diperhatikan atau diabaikan di luar urusan-urusan yang diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kebutuhan membentuknya pun seiring dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi yang berupaya memperjuangkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadilan bagi masyarakat adat. “Jadi, ada upaya sharing of power antara pusat dan daerah dalam memelihara ciri-ciri unity in diversity atau kesatuan dalam perbedaan dan sebaliknya, perbedaan dalam kesatuan.”
Masalah masyarakat adat akan bersinggungan dengan banyak masalah seperti pertanahan, kebudayaan, dan ekonomi, termasuk pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat untuk memiliki, mengembangkan, menguasai, dan memanfaatkan tanah-tanah, wilayah, dan sumberdaya komunalnya. “Malahan, salah satu unsur persatuan Indonesia di samping bahasa dan bangsa adalah hukum adat. Hampir dilupakan, hukum adat adalah salah satu unsur perekat negara kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.
Dalam paparan naskah akademik RUU PHMA, Jawahir menyampaikan beberapa pertimbangan mengapa RUU PHMA diperlukan. Beberapa pertimbangan tersebut adalah pilihan konsep atau istilah antara masyarakat adat atau masyarakat hukum adat disebut Undang-Undang Dasar 1945 dan beberapa undang-undang.
“(Penggunaan) kedua istilah mendorong pengkajian secara kritis,” ujarnya. Alasannya, dalam setiap masyarakat termasuk masyarakat adat terdapat hukum yang berlaku di dalamnya. Persoalannya, konsep atau istilah mana yang lebih tepat digunakan apakah masyarakat adat atau masyarakat hukum adat.
Masyarakat (hukum) adat dalam konstitusi ditemukan dalam Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3), serta Pasal 32 ayat (1) dan (2) UUD 1945 serta dalam peraturan perundang-undangan terbagi dua aspek yakni obyek hukum privat atau kebendaan dan obyek hukum publik (hak asasi manusia, hukum tata negara, dan pemerintahan daerah.
Aspek obyek hukum privat atau kebendaan tersebar dalam UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU 41/1999 tentang Kehutanan, UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU 18/2004 tentang Perkebunan, UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau, dan UU 11/1967 tentang Pertambangan Umum. Sedangkan aspek obyek hukum publik tersebar dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU 20/1999 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua, dan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Beberapa pertimbangan lainnya mengapa RUU PHMA diperlukan, karena eksistensi masyarakat (hukum) adat dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan tidak sesuai dengan realitas sosial; terjadinya marginalisasi masyarakat adat dalam kebijakan politik pembangunan hukum nasional yang sentralistik; terbukanya peluang memberdayakan masyarakat adat di era reformasi; serta membatasi kewenangan subyek dan obyek perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam kebijakan legislasi nasional.
Menurutnya, pembentukan UU PHMA justru mencegah disintegrasi dan menguatkan komitmen masyarakat dan bangsa kepada negara kesatuan RI dengan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal sesuai dengan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat lokal yang lebih beradab dalam bingkai filosofis Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity). Kemudian, meminimalisir multitafsir dan berupaya membentuk pemahaman komprehensif tentang konsep dasar mayarakat adat atau masyarakat hukum adat, masyarakat terasing atau indigenous people, serta relevansi nilai-nilai kearifan lokal sebagai sumber materil UU.
Pembentukan UU PHMA juga menciptakan rambu-rambu juridis agar kebijakan legislasi nasional mengenai perlindungan hak-hak masyarakat adat memberdayakan peran lembaga-lembaga adat sebagai mitra pemerintah daerah dalam pembangunan dan penyelesaian sengketa secara berkeadilan. Selanjutnya, mengkodifikasi hukum atau peraturan perundang-undangan terkait hak-hak masyarakat adat dengan maksud, di satu pihak, mengupayakan pelestarian nilai-nilai lokal yang rentan terhadap modernisasi dan, di pihak lain, mencegah pengebirian sekaligus memberdayakan hukum adat yang tidak tertulis (unwritten law).
Menurut Jawahir, hukum adat merupakan cabang hukum mandiri yang dikenal masyarakat lebih dahulu atau the old law selain hukum agama (khususnya Islam) dan hukum warisan Belanda atau the new law, tetapi masih merupakan sumber utama hukum nasional. Persoalannya, dituntut pemikiran dan kajian mendalam apakah pengkodifikasian sumber materil hukum adat tidak bertentangan atau melecehkan pemberlakuan hukum adat yang sifat keasliannya tidak tertulis.
Dalam perspektif kebudayaan, lanjut Jawahir, masyarakat memiliki pandangan hidup (way of life) yang terdiri dari sistem nilai dan sistem norma yang membedakan perwujudan kebudayaan ke dalam budaya immateril dan budaya materil. Persoalannya, obyek hak, kewajiban, dan kewenangan apakah yang harus diatur UU PHMA agar kebhinekaan yang hidup dalam masyarakat diakomodir hukum tertulis itu.
Selain untuk maksud-maksud tersebut, pembentukan UU PHMA diperlukan karena desakan masyarakat global melalui instrumen hak asasi manusia (HAM) internasional seperti Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, Konvensi International Labor Organization (ILO) Nomor 169 Tahun 1989 tentang Penduduk Asli dan Penduduk Suku di Negara-negara Merdeka (Indigenous and Tribal Peoples); Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3), serta Pasal 32 ayat (1) dan (2) UUD 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XVII/MPR/1988, dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Dulu bisa disembunyikan masalah masyarakat adat tetapi sekarang tidak bisa lagi,” sambung Jawahir. Hanya saja, beberapa konvensi internasional masih belum menemukan padanan indigenous peoples yang lebih tepat dalam bahasa Indonesia, apakah disamakan artinya dengan masyarakat terasing atau suku asli dan apakah mereka merupakan bagian masyarakat atau komunitas tersendiri.
Kemudian, RUU PHMA diperlukan sebagai jaminan kepastian hukum, antara lain, karena 1400 kasus konflik agraria yang melibatkan masyarakat tak satupun dimenangkan mereka. Ia memisalkan, hak ulayat nagari menghilang ketika 100 hektar tanah berpindah menjadi tanah Departemen Kehutanan serta fenomena kemiskinan yang menimpa 40-60 juta masyarakat adat di kawasan hutan.
Secara kosmologis, lanjut Jawahir, tanah tidak saja dipandang sebagai sumber awal kehidupan manusia dan sumber penghidupan sosial dan ekonomi tetapi juga sumber konflik lokal, nasional, dan internasional. Makanya, dalam penguasaan dan penggunaaannya harus mengakui pembedaan antara tanah komunitas adat (hak ulayat) dan tanah negara (Pasal 33 UU 1945 dan UU 5/1960). Persoalannya, bagaimana mengupayakan agar RUU PHMA mengatur tanah-tanah adat yang telah menjadi kawasan hutan lindung tidak menimbulkan konflik struktural dan horizontal.
RUU PHMA juga diperlukan karena cita-cita Proklamasi Kemerdekaan RI menyatukan sekitar 13.000 pulau dan kurang lebih 600 suku dilanjutkan dengan tuntutan era reformasi untuk mengganti sistem sentralistik dengan sistem desentralistik. Karenanya, kerjasama antara pemerintah daerah dan tokoh-tokoh adat sangat berperan untuk mencapainya, seperti melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Asosiasi Kesultanan Indonesia.
Menurutnya, negara kesatuan RI memiliki kekayaan alam, budaya, serta bahasa yang masih hidup dan dipergunakan masyarakat Indonesia. Persoalannya, dituntut pemikiran dan kajian mendalam bagaimana agar keanekaragaman adat istiadat yang masih hidup dan dipergunakan masyarakat Indonesia itu dikodifikasi ke dalam UU.
Marhany mengatakan, pembahasan RUU PHMA dilaksanakan hingga bulan Desember 2008 melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU), kunjungan kerja (kunker), uji sahih, seminar atau lokakarya, hingga konsinyering. “Inilah awal perjalanan pembahasan RUU ini,” ujarnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar