Rancangan Undang-Undang Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (RUU PHMA) sangat diperlukan untuk mengisi kekosongan hukum (vacuum of law atau rechts vacuum) kendati konsep atau istilah masyarakat adat ditemukan berjenjang dari konstitusi sampai undang-undang. Kekosongan hukum selama ini telah menyebabkan keberadaan masyarakat adat dalam semua dimensi semakin terpinggirkan dengan hak-hak yang terkebiri.
“Mengisi kekosongan hukum artinya selama ini kita belum miliki undang-undang masyarakat adat, jadi tidak merevisi undang-undang yang telah dibuat,” ucap Jawahir Thontowi, Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Yogyakarta, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Ad Hoc (PAH) I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipimpin Ketua PAH I DPD Marhany VP Pua di lantai 2 Gedung DPD Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (3/3).
Menurutnya, RUU PHMA akan menyentuh ranah yang tidak pernah diperhatikan atau diabaikan di luar urusan-urusan yang diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kebutuhan membentuknya pun seiring dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi yang berupaya memperjuangkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadilan bagi masyarakat adat. “Jadi, ada upaya sharing of power antara pusat dan daerah dalam memelihara ciri-ciri unity in diversity atau kesatuan dalam perbedaan dan sebaliknya, perbedaan dalam kesatuan.”
Masalah masyarakat adat akan bersinggungan dengan banyak masalah seperti pertanahan, kebudayaan, dan ekonomi, termasuk pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat untuk memiliki, mengembangkan, menguasai, dan memanfaatkan tanah-tanah, wilayah, dan sumberdaya komunalnya. “Malahan, salah satu unsur persatuan Indonesia di samping bahasa dan bangsa adalah hukum adat. Hampir dilupakan, hukum adat adalah salah satu unsur perekat negara kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.
Dalam paparan naskah akademik RUU PHMA, Jawahir menyampaikan beberapa pertimbangan mengapa RUU PHMA diperlukan. Beberapa pertimbangan tersebut adalah pilihan konsep atau istilah antara masyarakat adat atau masyarakat hukum adat disebut Undang-Undang Dasar 1945 dan beberapa undang-undang.
“(Penggunaan) kedua istilah mendorong pengkajian secara kritis,” ujarnya. Alasannya, dalam setiap masyarakat termasuk masyarakat adat terdapat hukum yang berlaku di dalamnya. Persoalannya, konsep atau istilah mana yang lebih tepat digunakan apakah masyarakat adat atau masyarakat hukum adat.
Masyarakat (hukum) adat dalam konstitusi ditemukan dalam Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3), serta Pasal 32 ayat (1) dan (2) UUD 1945 serta dalam peraturan perundang-undangan terbagi dua aspek yakni obyek hukum privat atau kebendaan dan obyek hukum publik (hak asasi manusia, hukum tata negara, dan pemerintahan daerah.
Aspek obyek hukum privat atau kebendaan tersebar dalam UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU 41/1999 tentang Kehutanan, UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU 18/2004 tentang Perkebunan, UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau, dan UU 11/1967 tentang Pertambangan Umum. Sedangkan aspek obyek hukum publik tersebar dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU 20/1999 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua, dan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Beberapa pertimbangan lainnya mengapa RUU PHMA diperlukan, karena eksistensi masyarakat (hukum) adat dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan tidak sesuai dengan realitas sosial; terjadinya marginalisasi masyarakat adat dalam kebijakan politik pembangunan hukum nasional yang sentralistik; terbukanya peluang memberdayakan masyarakat adat di era reformasi; serta membatasi kewenangan subyek dan obyek perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam kebijakan legislasi nasional.
Menurutnya, pembentukan UU PHMA justru mencegah disintegrasi dan menguatkan komitmen masyarakat dan bangsa kepada negara kesatuan RI dengan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal sesuai dengan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat lokal yang lebih beradab dalam bingkai filosofis Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity). Kemudian, meminimalisir multitafsir dan berupaya membentuk pemahaman komprehensif tentang konsep dasar mayarakat adat atau masyarakat hukum adat, masyarakat terasing atau indigenous people, serta relevansi nilai-nilai kearifan lokal sebagai sumber materil UU.
Pembentukan UU PHMA juga menciptakan rambu-rambu juridis agar kebijakan legislasi nasional mengenai perlindungan hak-hak masyarakat adat memberdayakan peran lembaga-lembaga adat sebagai mitra pemerintah daerah dalam pembangunan dan penyelesaian sengketa secara berkeadilan. Selanjutnya, mengkodifikasi hukum atau peraturan perundang-undangan terkait hak-hak masyarakat adat dengan maksud, di satu pihak, mengupayakan pelestarian nilai-nilai lokal yang rentan terhadap modernisasi dan, di pihak lain, mencegah pengebirian sekaligus memberdayakan hukum adat yang tidak tertulis (unwritten law).
Menurut Jawahir, hukum adat merupakan cabang hukum mandiri yang dikenal masyarakat lebih dahulu atau the old law selain hukum agama (khususnya Islam) dan hukum warisan Belanda atau the new law, tetapi masih merupakan sumber utama hukum nasional. Persoalannya, dituntut pemikiran dan kajian mendalam apakah pengkodifikasian sumber materil hukum adat tidak bertentangan atau melecehkan pemberlakuan hukum adat yang sifat keasliannya tidak tertulis.
Dalam perspektif kebudayaan, lanjut Jawahir, masyarakat memiliki pandangan hidup (way of life) yang terdiri dari sistem nilai dan sistem norma yang membedakan perwujudan kebudayaan ke dalam budaya immateril dan budaya materil. Persoalannya, obyek hak, kewajiban, dan kewenangan apakah yang harus diatur UU PHMA agar kebhinekaan yang hidup dalam masyarakat diakomodir hukum tertulis itu.
Selain untuk maksud-maksud tersebut, pembentukan UU PHMA diperlukan karena desakan masyarakat global melalui instrumen hak asasi manusia (HAM) internasional seperti Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, Konvensi International Labor Organization (ILO) Nomor 169 Tahun 1989 tentang Penduduk Asli dan Penduduk Suku di Negara-negara Merdeka (Indigenous and Tribal Peoples); Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3), serta Pasal 32 ayat (1) dan (2) UUD 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XVII/MPR/1988, dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Dulu bisa disembunyikan masalah masyarakat adat tetapi sekarang tidak bisa lagi,” sambung Jawahir. Hanya saja, beberapa konvensi internasional masih belum menemukan padanan indigenous peoples yang lebih tepat dalam bahasa Indonesia, apakah disamakan artinya dengan masyarakat terasing atau suku asli dan apakah mereka merupakan bagian masyarakat atau komunitas tersendiri.
Kemudian, RUU PHMA diperlukan sebagai jaminan kepastian hukum, antara lain, karena 1400 kasus konflik agraria yang melibatkan masyarakat tak satupun dimenangkan mereka. Ia memisalkan, hak ulayat nagari menghilang ketika 100 hektar tanah berpindah menjadi tanah Departemen Kehutanan serta fenomena kemiskinan yang menimpa 40-60 juta masyarakat adat di kawasan hutan.
Secara kosmologis, lanjut Jawahir, tanah tidak saja dipandang sebagai sumber awal kehidupan manusia dan sumber penghidupan sosial dan ekonomi tetapi juga sumber konflik lokal, nasional, dan internasional. Makanya, dalam penguasaan dan penggunaaannya harus mengakui pembedaan antara tanah komunitas adat (hak ulayat) dan tanah negara (Pasal 33 UU 1945 dan UU 5/1960). Persoalannya, bagaimana mengupayakan agar RUU PHMA mengatur tanah-tanah adat yang telah menjadi kawasan hutan lindung tidak menimbulkan konflik struktural dan horizontal.
RUU PHMA juga diperlukan karena cita-cita Proklamasi Kemerdekaan RI menyatukan sekitar 13.000 pulau dan kurang lebih 600 suku dilanjutkan dengan tuntutan era reformasi untuk mengganti sistem sentralistik dengan sistem desentralistik. Karenanya, kerjasama antara pemerintah daerah dan tokoh-tokoh adat sangat berperan untuk mencapainya, seperti melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Asosiasi Kesultanan Indonesia.
Menurutnya, negara kesatuan RI memiliki kekayaan alam, budaya, serta bahasa yang masih hidup dan dipergunakan masyarakat Indonesia. Persoalannya, dituntut pemikiran dan kajian mendalam bagaimana agar keanekaragaman adat istiadat yang masih hidup dan dipergunakan masyarakat Indonesia itu dikodifikasi ke dalam UU.
Marhany mengatakan, pembahasan RUU PHMA dilaksanakan hingga bulan Desember 2008 melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU), kunjungan kerja (kunker), uji sahih, seminar atau lokakarya, hingga konsinyering. “Inilah awal perjalanan pembahasan RUU ini,” ujarnya.
Senin, 03 Maret 2008
Ginanjar : Kualitas pendidikan Menentukan Kualitas Peminpin Masa Depan
Kualitas pendidikan menentukan pula kualitas pemimpin masa depan. Melalui sistem pendidikan akan tampil dan ditempa pemimpin-pemimpin masa depan. Maka sungguh penting menanam lahan yang subur dari sejak sekarang untuk menumbuhkan bibit-bibit kepemimpinan seperti yang dikehendaki. Demikian disampaikan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita pada Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis Universitas Brawijaya ke-45 dan Lustrum ke-9 dengan tema “Kepemimpinan Nasional Pasca Pemilu 2009” di Malang, Jawa Timur (28/2).
Saat ini Indonesia sedang mengalami "defisit" kepemimpinan baik pemimpinan nasional, pemimpin daerah (walikota dan bupati), DPRD maupun di lembaga perguruan tinggi (kampus). "Untuk melahirkan seorang pemimpin, peran dunia pendidikan sangat penting dan strategis, namun tentu saja antara kualitas dan kuantitas seimbang sehingga tidak sampai terjadi defisit dimana antara kebutuhan dan yang dihasilkan lebih besar yang dibutuhkan," lanjut Ginandjar.
Menurut Ginandjar faktor kepemimpinan penting sekali dan amat menentukan dalam kehidupan setiap bangsa, karena maju mundurnya masyarakat, jatuh bangunnya bangsa ditentukan oleh pemimpinnya. Pemimpinlah yang akan merancang masa depan serta menggerakkan masyarakat untuk mencapainya. Bahkan di negara maju sekalipun sudah dirasakan adanya krisis kepemimpinan.
Ia mengakui, sebenarnya banyak di Indonesia ini orang-orang yang berkualitas tetapi mereka tidak mau menjadi pemimpin dan sebaliknya banyaknya orang yang tidak memiliki kemampuan justru berebut ingin menjadi seorang pemimpin, baik pemimpin bangsa (nasional) di daerah (walikota dan bupati) maupun DPRD-nya.
Oleh karena itu, katanya, kedepan, pemimpin bangsa harus memiliki perpaduan pemikiran tradisional dan modern, sebab menjadi seorang pemimpin tidak cukup hanya pandai berpidato dan mengobarkan semangat nasionalisme rakyat, tetapi juga mampu mengatasi dan memecahkan semua permasalahan termasuk perekonomian yang mandiri serta mampu mengangkat martabat dan derajat bangsa Indonesia di mata dunia.
Pada dasarnya, Ginandjar menyatakan bahwa seorang pemimpin bagi bangsa Indonesia harus memiliki tiga sifat: pertama, memiliki idealisme artinya jelas kemana atau kearah mana ia ingin membawa yang dipimpinnya. Pemimpin harus memahami apa yang menjadi tujuan perjuangan dan menempatkan kepentingan perjuangan dan masyarakatnya di atas kepentingan sendiri. Sifat bangsa Indonesia yang majemuk membuat pemimpin harus mampu menjadi pemersatu.
Sifat kedua yang harus dimiliki, pengetahuan, untuk dapat secara efektif membawa yang dipimpin ke arah tujuan yang diidealkannya. Ia harus mengetahui cara memimpin dan menguasai bidang atau tugas yang diembannya. Dengan demikian ia harus seorang profesional. Dan yang ketiga seorang pemimpin harus menjadi teladan, dan sumber inspirasi. Oleh karena itu, seorang pemimpin diharapkan manusia-manusia yang beriman dan bertaqwa, karena hanya di atas iman dan taqwa, pembangunan yang berakhlak dapat diselenggarakan.
“..pertama-tama pemimpin masa depan tidak mungkin bersandar semata-mata kepada kharisma, baik dari pembawaan, karena peran sejarah, atau dibuat secara sintesis. Kelebihan seorang pemimpin akan diukur dari prestasi nyata dan kualitas pemikirannya oleh masyarakat dan orang-orang yang setara (equal) dengannya. Para pemimpin pada masa kini dan selanjutnya mungkin tidak berbeda terlalu lebih dari yang lain,” ungkap Ginandjar.
Pemimpin yang dituntut adalah yang berjiwa kerakyatan, dan sadar bahwa kepemimpinannya adalah mandat atau kepercayaan yang diberikan oleh yang dipimpin dan harus dipertanggungjawabkannya. Tidak mungkin lagi seorang pemimpin pada masa kini dan masa mendatang merasa kepemimpinan itu sebagai haknya, entah karena keturunan, kekayaan atau kepintarannya.
Secara keseluruhan pemimpin yang dibutuhkan adalah pemimpin yang harus membangun bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan mandiri. Kemajuan dan kemandirian ini harus menjadi landasan serta modal untuk membangun bangsa makmur yang sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Singkatnya kepemimpinan modern menurut Ginandjar, disamping memiliki sifat-sifat tradisional yang melambangkan watak dan moral kepemimpinan bangsa, juga harus merupakan sosok modern. Pemimpin yang demikian adalah seorang yang memiliki jiwa kerakyatan, seorang yang professional, memiliki wawasan, inovatif dan rasional. Ia harus mampu memahami masalah-masalah yang kompleks, dan mampu menemukan masalah yang sederhana dan mudah dilaksanakan bagi masalah-masalah yang kompleks itu. Ia bukan hanya harus berani mengambil risiko, tetapi juga mampu menghitung risiko.
Pada akhir orasinya, Ginandjar mengungkapkan bahwa bagaimana menemukan pemimpin serupa itu, itulah pertanyaan yang harus dijawab. Pemimpin memang bisa dilahirkan , tetapi juga bisa dibuat. Bahkan acapkali dikatakan pemimpin adalah cerminan masyarakatnya (you deserve your leader) atau pemimpin adalah “produk budaya” masyarakatnya.
Saat ini Indonesia sedang mengalami "defisit" kepemimpinan baik pemimpinan nasional, pemimpin daerah (walikota dan bupati), DPRD maupun di lembaga perguruan tinggi (kampus). "Untuk melahirkan seorang pemimpin, peran dunia pendidikan sangat penting dan strategis, namun tentu saja antara kualitas dan kuantitas seimbang sehingga tidak sampai terjadi defisit dimana antara kebutuhan dan yang dihasilkan lebih besar yang dibutuhkan," lanjut Ginandjar.
Menurut Ginandjar faktor kepemimpinan penting sekali dan amat menentukan dalam kehidupan setiap bangsa, karena maju mundurnya masyarakat, jatuh bangunnya bangsa ditentukan oleh pemimpinnya. Pemimpinlah yang akan merancang masa depan serta menggerakkan masyarakat untuk mencapainya. Bahkan di negara maju sekalipun sudah dirasakan adanya krisis kepemimpinan.
Ia mengakui, sebenarnya banyak di Indonesia ini orang-orang yang berkualitas tetapi mereka tidak mau menjadi pemimpin dan sebaliknya banyaknya orang yang tidak memiliki kemampuan justru berebut ingin menjadi seorang pemimpin, baik pemimpin bangsa (nasional) di daerah (walikota dan bupati) maupun DPRD-nya.
Oleh karena itu, katanya, kedepan, pemimpin bangsa harus memiliki perpaduan pemikiran tradisional dan modern, sebab menjadi seorang pemimpin tidak cukup hanya pandai berpidato dan mengobarkan semangat nasionalisme rakyat, tetapi juga mampu mengatasi dan memecahkan semua permasalahan termasuk perekonomian yang mandiri serta mampu mengangkat martabat dan derajat bangsa Indonesia di mata dunia.
Pada dasarnya, Ginandjar menyatakan bahwa seorang pemimpin bagi bangsa Indonesia harus memiliki tiga sifat: pertama, memiliki idealisme artinya jelas kemana atau kearah mana ia ingin membawa yang dipimpinnya. Pemimpin harus memahami apa yang menjadi tujuan perjuangan dan menempatkan kepentingan perjuangan dan masyarakatnya di atas kepentingan sendiri. Sifat bangsa Indonesia yang majemuk membuat pemimpin harus mampu menjadi pemersatu.
Sifat kedua yang harus dimiliki, pengetahuan, untuk dapat secara efektif membawa yang dipimpin ke arah tujuan yang diidealkannya. Ia harus mengetahui cara memimpin dan menguasai bidang atau tugas yang diembannya. Dengan demikian ia harus seorang profesional. Dan yang ketiga seorang pemimpin harus menjadi teladan, dan sumber inspirasi. Oleh karena itu, seorang pemimpin diharapkan manusia-manusia yang beriman dan bertaqwa, karena hanya di atas iman dan taqwa, pembangunan yang berakhlak dapat diselenggarakan.
“..pertama-tama pemimpin masa depan tidak mungkin bersandar semata-mata kepada kharisma, baik dari pembawaan, karena peran sejarah, atau dibuat secara sintesis. Kelebihan seorang pemimpin akan diukur dari prestasi nyata dan kualitas pemikirannya oleh masyarakat dan orang-orang yang setara (equal) dengannya. Para pemimpin pada masa kini dan selanjutnya mungkin tidak berbeda terlalu lebih dari yang lain,” ungkap Ginandjar.
Pemimpin yang dituntut adalah yang berjiwa kerakyatan, dan sadar bahwa kepemimpinannya adalah mandat atau kepercayaan yang diberikan oleh yang dipimpin dan harus dipertanggungjawabkannya. Tidak mungkin lagi seorang pemimpin pada masa kini dan masa mendatang merasa kepemimpinan itu sebagai haknya, entah karena keturunan, kekayaan atau kepintarannya.
Secara keseluruhan pemimpin yang dibutuhkan adalah pemimpin yang harus membangun bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan mandiri. Kemajuan dan kemandirian ini harus menjadi landasan serta modal untuk membangun bangsa makmur yang sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Singkatnya kepemimpinan modern menurut Ginandjar, disamping memiliki sifat-sifat tradisional yang melambangkan watak dan moral kepemimpinan bangsa, juga harus merupakan sosok modern. Pemimpin yang demikian adalah seorang yang memiliki jiwa kerakyatan, seorang yang professional, memiliki wawasan, inovatif dan rasional. Ia harus mampu memahami masalah-masalah yang kompleks, dan mampu menemukan masalah yang sederhana dan mudah dilaksanakan bagi masalah-masalah yang kompleks itu. Ia bukan hanya harus berani mengambil risiko, tetapi juga mampu menghitung risiko.
Pada akhir orasinya, Ginandjar mengungkapkan bahwa bagaimana menemukan pemimpin serupa itu, itulah pertanyaan yang harus dijawab. Pemimpin memang bisa dilahirkan , tetapi juga bisa dibuat. Bahkan acapkali dikatakan pemimpin adalah cerminan masyarakatnya (you deserve your leader) atau pemimpin adalah “produk budaya” masyarakatnya.
DPD tuntut perlakuan sama untuk semua peserta pemilu
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengomentari pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (RUU Pemilu) terkait syarat calon anggota DPD atau peserta pemilu perorangan. Beberapa materi isu selama pembahasan di Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu DPR terasa mengganjal bagi DPD karena tidak mempertegas sistem perwakilan yang memisahkan wakil partai politik dengan wakil daerah serta syarat calon anggota DPD.
Selama proses lobby di Pansus terdapat tiga alternatif, yakni pertama, calon anggota DPD yang telah terpilih sebagai anggota DPD periode sekarang dengan dukungan suara 10% pada Pemilu 2004 tidak lagi memerlukan syarat dukungan minimal dari pemilih di daerah pemilihan bersangkutan.
Sementara, calon anggota DPR periode sekarang dari daerah pemilihan yang sama dengan dukungan suara 10% dari bilangan pembagi pemilih (BPP) tidak memerlukan syarat dukungan minimal dari pemilih di daerah pemilihan bersangkutan. “Kalau mereka mencalonkan diri sebagai anggota DPD, tidak diperlukan lagi syarat dukungan minimal dari pemilih. Itu jalan tol.”
Alternatif kedua, kembali kepada rumusan UU 12/2003. Alternatif ketiga, terdapat usulan tambahan bahwa seluruh anggota DPR dan DPD periode sekarang dapat mencalonkan sebagai anggota DPD tanpa harus mengumpulkan syarat dukungan minimal dari pemilih.
Ketiga alternatif, setelah melalui proses lobby hingga tadi malam (Kamis, 21/2), ternyata kembali kepada alternatif kedua.
DPD menegaskan, syarat peserta pemilu sebagaimana rumusan UUD 1945 maupun UU 12/2003 menyatakan bahwa peserta Pemilu 2004 terdiri dari dua, yakni partai politik dan perorangan. “Jadi, anggota DPD adalah peserta pemilu perorangan. Statusnya dalam konstitusi sama dengan peserta pemilu partai politik.”
Karenanya, DPD menuntut agar pemberlakukan syarat terhadap peserta pemilu diterapkan konsisten tanpa standar ganda, seperti ambang batas perolehan suara di pemilu (electoral threshold atau ET). Demikian diungkap Wakil Ketua DPD Laode Ida dan Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) I DPD Marhany VP Pua dalam konferensi pers di lantai 8 Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen, Jumat (22/2).
DPD menuntut kesamaan ET 3% untuk semua peserta pemilu, baik perorangan peserta pemilu maupun partai politik peserta pemilu. DPD menegaskan, partai politik yang melewati ET 3% maka tidak harus diverifikasi kembali sebagai peserta pemilu berikutnya. Sementara, anggota DPD periode sekarang yang mencalonkan diri kembali sebagai peserta Pemilu 2009 tidak memerlukan lagi syarat dukungan minimal asalkan telah melewati ET 3%.
Makanya, kalau ET 3% terhadap partai politik peserta pemilu tidak diterapkan maka perlakuan yang sama juga harus diterima perorangan peserta pemilu. “Karena itu, seluruh partai politik harus diverifikasi ulang, tidak boleh ada eksepsi atau kekecualian.” Lanjutnya, “Jangan sampai mengabaikan ET ini.”
Selain itu, DPD menuntut agar syarat domisi peserta pemilu perorangan tidak diabaikan karena justru menghilangkan identitas sebagai wakil daerah. “Berarti semua pihak bisa mewakili daerah, di mana saja dia berada.”
Pengisian keanggotaan DPD terbuka untuk kader partai politik asalkan syarat domisilinya dipastikan sesuai dengan asalnya dari daerah pemilihan bersangkutan. Pengalaman mengajarkan, anggota DPR yang tidak berasal dari daerah pemilihan yang diwakili. “Beberapa utusan daerah dari suatu daerah yang berbeda, yang dia tidak tahu persis daerah itu, hasilnya adalah nihil. Mereka tidak memperjuangkan kepentingan daerah.”
DPD juga menuntut diberlakukan jeda waktu minimal empat tahun kepada calon anggota DPD sejak mengundurkan diri sebagai pengurus partai politik hingga saat mendaftar sebagai calon anggota DPD. “Pengurus partai politik harus empat tahun dulu mengundurkan diri dari partai politiknya, baru kemudian mencalonkan diri sebagai anggota DPD,” ujarnya.
Kalau semua tuntutan tidak diindahkan, DPD meminta agar syarat-syarat calon perorangan anggota DPD kembali kepada rumusan UU 12/2003. “Tapi, ini akan memberatkan partai politik.”
Marhany juga menegaskan, bahwa pada intinya DPD mendorong pertumbuhan demokrasi secara baik dan sehat agar independensi anggota DPD sebagai wakil daerah tetap terjaga. “Juga, untuk terbangunnya checks and balances antar-lembaga parlemen ini,” ujarnya.
Karenanya, ET 3% diberlakukan terhadap partai politik peserta pemilu dan perorangan peserta pemilu. “Kita mendorong ET yang sama, 3%,” ujarnya. Jika ET 3% tidak diberlakukan, maka terdapat dua pilihan yakni memberlakukan ET 0% kepada semua peserta pemilu atau kembali kepada rumusan UU 12/2003 yakni semua anggota DPD yang mencalonkan diri kembali harus mengumpulkan dukungan pemilih sesuai syarat minimal.
Syarat domisili dan independensi calon anggota DPD juga harus diperhatikan. Ia mendesak agar diberlakukan jeda waktu minimal empat tahun terhadap calon anggota DPD sejak mengundurkan diri sebagai pengurus partai politik hingga saat mendaftar sebagai calon anggota DPD.
Laode mengingatkan, semua pihak menghargai hasil demokrasi yang mengisi keanggotaan DPD dan DPR periode sekarang melalui rumusan UU Pemilu yang berkeadilan untuk semua peserta pemilu, baik perorangan peserta pemilu maupun partai politik peserta pemilu. “Terlebih lagi, mari kita menghargai pemilih yang sudah memberikan mandat kepada wakil-wakilnya, baik di DPR maupun DPD.”
“Bangsa ini harus menghargai suara atau pilihan rakyat yang sudah memberikan mandat untuk mewakili mereka. Kalaupun mereka tidak memilih kembali, tidak lagi menyukai calon bersangkutan, silakan tidak dipilih,” pungkas Laode.
Selama proses lobby di Pansus terdapat tiga alternatif, yakni pertama, calon anggota DPD yang telah terpilih sebagai anggota DPD periode sekarang dengan dukungan suara 10% pada Pemilu 2004 tidak lagi memerlukan syarat dukungan minimal dari pemilih di daerah pemilihan bersangkutan.
Sementara, calon anggota DPR periode sekarang dari daerah pemilihan yang sama dengan dukungan suara 10% dari bilangan pembagi pemilih (BPP) tidak memerlukan syarat dukungan minimal dari pemilih di daerah pemilihan bersangkutan. “Kalau mereka mencalonkan diri sebagai anggota DPD, tidak diperlukan lagi syarat dukungan minimal dari pemilih. Itu jalan tol.”
Alternatif kedua, kembali kepada rumusan UU 12/2003. Alternatif ketiga, terdapat usulan tambahan bahwa seluruh anggota DPR dan DPD periode sekarang dapat mencalonkan sebagai anggota DPD tanpa harus mengumpulkan syarat dukungan minimal dari pemilih.
Ketiga alternatif, setelah melalui proses lobby hingga tadi malam (Kamis, 21/2), ternyata kembali kepada alternatif kedua.
DPD menegaskan, syarat peserta pemilu sebagaimana rumusan UUD 1945 maupun UU 12/2003 menyatakan bahwa peserta Pemilu 2004 terdiri dari dua, yakni partai politik dan perorangan. “Jadi, anggota DPD adalah peserta pemilu perorangan. Statusnya dalam konstitusi sama dengan peserta pemilu partai politik.”
Karenanya, DPD menuntut agar pemberlakukan syarat terhadap peserta pemilu diterapkan konsisten tanpa standar ganda, seperti ambang batas perolehan suara di pemilu (electoral threshold atau ET). Demikian diungkap Wakil Ketua DPD Laode Ida dan Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) I DPD Marhany VP Pua dalam konferensi pers di lantai 8 Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen, Jumat (22/2).
DPD menuntut kesamaan ET 3% untuk semua peserta pemilu, baik perorangan peserta pemilu maupun partai politik peserta pemilu. DPD menegaskan, partai politik yang melewati ET 3% maka tidak harus diverifikasi kembali sebagai peserta pemilu berikutnya. Sementara, anggota DPD periode sekarang yang mencalonkan diri kembali sebagai peserta Pemilu 2009 tidak memerlukan lagi syarat dukungan minimal asalkan telah melewati ET 3%.
Makanya, kalau ET 3% terhadap partai politik peserta pemilu tidak diterapkan maka perlakuan yang sama juga harus diterima perorangan peserta pemilu. “Karena itu, seluruh partai politik harus diverifikasi ulang, tidak boleh ada eksepsi atau kekecualian.” Lanjutnya, “Jangan sampai mengabaikan ET ini.”
Selain itu, DPD menuntut agar syarat domisi peserta pemilu perorangan tidak diabaikan karena justru menghilangkan identitas sebagai wakil daerah. “Berarti semua pihak bisa mewakili daerah, di mana saja dia berada.”
Pengisian keanggotaan DPD terbuka untuk kader partai politik asalkan syarat domisilinya dipastikan sesuai dengan asalnya dari daerah pemilihan bersangkutan. Pengalaman mengajarkan, anggota DPR yang tidak berasal dari daerah pemilihan yang diwakili. “Beberapa utusan daerah dari suatu daerah yang berbeda, yang dia tidak tahu persis daerah itu, hasilnya adalah nihil. Mereka tidak memperjuangkan kepentingan daerah.”
DPD juga menuntut diberlakukan jeda waktu minimal empat tahun kepada calon anggota DPD sejak mengundurkan diri sebagai pengurus partai politik hingga saat mendaftar sebagai calon anggota DPD. “Pengurus partai politik harus empat tahun dulu mengundurkan diri dari partai politiknya, baru kemudian mencalonkan diri sebagai anggota DPD,” ujarnya.
Kalau semua tuntutan tidak diindahkan, DPD meminta agar syarat-syarat calon perorangan anggota DPD kembali kepada rumusan UU 12/2003. “Tapi, ini akan memberatkan partai politik.”
Marhany juga menegaskan, bahwa pada intinya DPD mendorong pertumbuhan demokrasi secara baik dan sehat agar independensi anggota DPD sebagai wakil daerah tetap terjaga. “Juga, untuk terbangunnya checks and balances antar-lembaga parlemen ini,” ujarnya.
Karenanya, ET 3% diberlakukan terhadap partai politik peserta pemilu dan perorangan peserta pemilu. “Kita mendorong ET yang sama, 3%,” ujarnya. Jika ET 3% tidak diberlakukan, maka terdapat dua pilihan yakni memberlakukan ET 0% kepada semua peserta pemilu atau kembali kepada rumusan UU 12/2003 yakni semua anggota DPD yang mencalonkan diri kembali harus mengumpulkan dukungan pemilih sesuai syarat minimal.
Syarat domisili dan independensi calon anggota DPD juga harus diperhatikan. Ia mendesak agar diberlakukan jeda waktu minimal empat tahun terhadap calon anggota DPD sejak mengundurkan diri sebagai pengurus partai politik hingga saat mendaftar sebagai calon anggota DPD.
Laode mengingatkan, semua pihak menghargai hasil demokrasi yang mengisi keanggotaan DPD dan DPR periode sekarang melalui rumusan UU Pemilu yang berkeadilan untuk semua peserta pemilu, baik perorangan peserta pemilu maupun partai politik peserta pemilu. “Terlebih lagi, mari kita menghargai pemilih yang sudah memberikan mandat kepada wakil-wakilnya, baik di DPR maupun DPD.”
“Bangsa ini harus menghargai suara atau pilihan rakyat yang sudah memberikan mandat untuk mewakili mereka. Kalaupun mereka tidak memilih kembali, tidak lagi menyukai calon bersangkutan, silakan tidak dipilih,” pungkas Laode.
Langganan:
Postingan (Atom)